Kisahku (1999)


Kisah ini bermula dua belas tahun silam, ketika saya berumur 3 tahun. Kisah ini menimpa saya dan orang tua saya. Saat saya masih begitu belia ditimpa ujian sebesar ini. Di rumah kontrkan kami, malam itu sekitar pukul  1, perut saya sangat sakit, akhirnya ayah dan ibu mengantar saya ke toilet yang letaknya di belakang rumah. Tapi, di dalam toilet rasa sakit saya hilang. Saya sendiri tidak mengerti. Ibu menemani saya di dalam toilet. Sedangkan ayah saya duduk menjaga kami di gazebo favorit keluarga kami. Namun, kejadian buruk itu terjadi.

Tiga orang laki-laki berpakaian hitam dan memakai topeng membantai ayah dari belakang. Ayah berteriak dan menyuruh ibu menyelamatkan saya. Saya dipeluk ibu erat sekali, saya tidak tahu apa yang terjadi. Ayah sendiri tak bersenjata harus melawan tiga orang yang ingin membunuhnya dengan pedang. Ibu saya berteriak, tak lama kemudian tetangga saya berhamburan. Ketika mengetahui situasi sedang genting, ketiga orang tersebut berlari melompati tembok belakang rumah saya. Ayah saya sudah bersimbah dara dengan luka di kepala, tangan, dan pundak. Beliau dilarikan di RSUD Sumbawa. Sedangkan saya, dititipkan di rumah nenek saya. Berulang kali saya bertanya, ayah ibu kemana, tapi nenek saya cuma menjawab, bapak sama mama lagi pergi ke Alas. 

Di rumah sakit, ayah saya kritis, sedangkan ibu beberapa kali pingsan karena sangat shock. Ayah saya kehabisan 1 liter darah dan puluhan luka jahitan di sekitar tubuhnya. Kata dokter, jika orang lain yang menderita luka separah ini, ia tidak dapat bertahan lama. Tapi, Maha Baik Tuhan masih memberikan umur panjang bagi ayah. Saudara-saudara ayah saya mendonorkan darah. Alhamdulillah, saya tertolong. Saat itu pula, keuangan keluarga kami menipis, dan berkat bantuan dari saudara-saudara biaya rumah sakit dapat dilunasi.

Kenyataan lebih pahit lagi harus kami hadapi. 3 orang yang membantai ayah adalah saudara sepupu dari ibu, yang dekat dengan kami, makan dengan kami, susah dengan kami, dan berbagi dengan kami. 3 orang ini sering membantu ayah di sawah dan pekerjaan bisnis sampingan ayah. Entah apa yang membuat mereka begitu tega melakukan hal sepedih ini. Meski melakukan kegiatan tersebut, mereka tidak mendapat sanksi tegas dari kepolisian. Hanya beberapa bulan penjara. 

Berkat rutinnya pengobatan yang dilakukan ayah, alhamdulillah beliau mulai pulih. Meski pun beliau belum bisa mengerjakan pekerjaan berat karena jahitan kedua telapak tangannya yang belum pulih, kami sangat bersyukur karena sosoknya masi tetap ada sebagai ayah yang baik. Semanjak kejadian itu, kami tak lagi tinggal di rumah itu, kami pindah ke rumah nenek saya. Tak ada lagi kenangan indah di gazebo favorit kami karena malam itu berubah menjadi lautan darah ayah.

Namun, karena suatu masalah, kami lagi-lagi harus pindah ke rumah itu. Karena tak ada rumah lain yang dikontrakan. Meski ada kejadian buruk yang mungkin akan terukir abadi dalam hati kami, ayah menguatkan kami bahwa kami harus tegar dan tidak boleh kalah. Alhamdulillah, 3 tahun menetap kembali di rumah itu, kami hidup tentram.

Peristiwa ini, sebenarnya disembunyikan dari saya karena ayah dan ibu takut hal ini menjadi beban mental dan pikiran bagi saya. Namun, sekecil apa pun itu, saya memang harus tahu. Hingga saya berusia 13 tahun, ibu mencerikan itu semua dengan sebenar-benarnya. Saya hanya bisa mengambil hikmah dari apa yang saya alami di masa lalu. Saya berharap, peristiwa ini hanya sekali itu saja menimpa keluarga kami dan jangan menimpa orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar