Cerpen - Daun-daun Cinta


Hiruk pikuk Kota Jakarta kembali dirasakan Mia. Suara klakson kendaraan terdengar membising di telinganya. Tetes demi tetes keringatnya mulai bercucuran karena sengatan sang mentari yang tak bisa kompromi. Sesekali ia mengintip kiri-kanan dan depan-belakang, berharap agar ia dapat melaju dengan nyaman. Namun, bayangannya sirna karena ada ratusan kerndaraan berderet di belakang mobilnya seperti orang yang mengantri minyak tanah. Lampu lalu lintas telah berwarna pelagi sejak tadi namun tetap saja ia tidak bisa lolos dari kekangan jalanan.
Ardi, lelaki yang sebentar lagi akan meminang Mia hanya bisa tersenyum melihat ulahnya. Ia telah bosan menyuruh Mia berhenti mengoceh. Namun Mia tak peduli seakan-akan hatinya akan meledak sebentar lagi. Yah, begitulah Mia sangat cerewet dan beruntunglah ia memiliki kekasih yang sabar seperti Ardi. Setelah sekian lama jenuh bergejolak di dadanya, akhirnya Ardi dapat memacu kendaraanya dengan nyaman. Penantian berjam-jam akhirnya terbayar.
Ardi dan Mia dari Semarang menuju ke Jakarta untuk menyelesaikan urusan pekerjaan Ardi, namun karena Mia juga ingin mengunjungi rumah saudaranya yang ada di Jakarta, mereka pun berangkat berdua. Keduanya telah menjalin kasih empat tahun yang lalu, saat kedunya mengenyam pendidikan tinggi di universitas yang sama. Kebanyakan orang tidak mengira mereka berpacaran karena sikap keduanya yang biasa-biasa saja tidak seperti pasangan anak muda kebanyakan.
Suasana Kota Jakarta membuka kembali memorinya pada beberapa tahun yang lalu. Saat ia sempat merasakan pendidikan SMA selama dua tahun di sana. Ia berusaha mengingat kembali sahabat, guru, tetangga, dan orang-orang yang pernah hadir dalam hidupnya saat itu. Mengingat kembali suasana rumah, sekolah, dan sanggar seni tempat ia dulu belajar menari. Dan tentunya teringat pada sosok lelaki yang pernah mencuri hatinya dulu. Ia terbawa lamunan.
Karena angannya yang terlalu dalam, ia pun tidak sadar bahwa mobil yang ditumpanginya tiba-tiba mogok. Seketika Ardi mencubit lengannya karena berulang kali ia memanggil Mia namun tak didengar. Mia terperanjat kaget dan sadar dari angan panjangnya. Ia pun kembali kesal karena perjalanannya kembali terhambat. Sementara Ardi sibuk mempreteli mobil yang diparkirnya di samping jalan. Setelah sekian lama duduk membaca katalog kesukaannya, rasa haus menyerang tenggorokannya. Ia pun turun dari mobil dan berjalan menuju kedai makanan yang tak jauh dari mobil Ardi.
“Berapa semuanya bang?” tanya Mia pada pemilik kedai.
“Semuanya Rp.8.000 mbak.” kata pemilik kedai.
“Ini uangnya bang. Saya numpang duduk disini eah bang?” kata Mia sambil merebahkan badanya di atas kursi rotan pemilik kedai tersebut.
“Iya mbak, duduk aja.” Jawab pemilik kedai.
            Mia beristirahat sejenak. Pikirannya penuh oleh kenangan masa lalu hingga tak terbesit tentang Ardi yang sedang berusaha memperbaiki mobilnya. Ia memakan camilan yang ia beli tadi sambil menikmati pemandangan kendaraan yang lalu lalang di hadapannya. Namun, ada pemandangan tak manusiawi di matanya. Ketika dua orang lelaki bertubuh kekar menyeret seorang lelaki lugu dengan baju kumal ke pinggir jalan. Kedua preman itu tertawa setelah mengambil sejumlah uang yang dimiliki lelaki itu. Lelaki yang lugu itu hanya terdiam seakan-akan tak mengerti apa yang baru saja terjadi.
            Bapak pemilik warung pun mengajak lelaki tadi duduk di samping kedainya. Ia memberi sepotong roti dan segelas air mineral kepada lelaki lugu itu. Mia menyaksikan kejadian itu dengan perasaan iba layaknya sebuah adegan skenario.
“Bang, cowok itu siapa?” tanya Mia pada pemilik kedai.
“O..., dia itu orang gila yang biasa diam di depan emperan toko di sana, Mbak.”
“Orang gila?”
“Iya, Mbak. Jiwanya tertanggu sejak beberapa tahun yang lalu.”
“Kok bisa, Bang? Memangnya dia enggak punya keluarga?”
“Katanya orang-orang sih karena pacarnya pergi. Kalau keluarganya saya kurang tahu, Mbak.”
            Mendengar jawaban dari pemilik kedai, Mia hanya bisa terdiam dan berpikir sejanak betapa masih beruntungnya ia dengan keadaannya serba mapan saat ini. Ia pun mendekati lelaki itu. Memperhatikan gerak-geriknya yang selalu menunduk seakan malu pada wujudnya saat ini. Pakaian yang dikenakannya sangat kotor dan robek menandakan tak seorang pun yang peduli padanya. Mungkin ia bisa hidup sampai saat ini karena sepotong roti dari sang pemilik kedai. Sebatang kayu ditangannya ia mainkan di atas tanah layaknya seorang anak kecil yang asik dengan mobil-mobilannya.
            Karena penasaran ingin melihat paras lelaki itu, Mia menggodanya dengan memberikan sebungkus biskuit coklat untuknya. Mia mengajak berbicara lelaki itu, berharap ia akan memberi respon. Namun, setelah beberapa kali ia melakukan hal yang sama, lelaki itu tetap asik dengan kayunya. Tanpa pikir panjang, Mia mengambil batang kayu yang berada di genggaman lelaki itu. Lelaki itu pun mengangkat wajahnya. Namun, ketika itulah Mia terperanjat dan kembali pada masa lalunya.
            Sekarang, di hadapannya telah hadir sosok orang gila yang dulu menjadi orang yang menyayanginya. Yah, paras lelaki itu sangat mirip dengan Raka. Ada bekas luka jahitan di jidatnya yang menandakan orang itu memang benar-benar Raka. Hatinya kini berada dalam penjara kesalahan, penjara duka, dan penjara yang kini memenjarakan dirinya sendiri. Betapa tidak, lelaki yang dulu pernah memberi warna indah di hidupnya kini harus hidup tak jelas di pinggiran Kota Jakarta. Sedangkan, ia kini bahagia dengan masa depannya.
            Lelaki itu hanya menampakkan wajah datar saat melihat tetesan air mata Mia tak dapat dibendung. Ia tetap asyik dengan kayunya meski mungkin isak tangis Mia terdengar di telinganya. Yah, Raka telah berlalu. Raka bukanlah Raka yang ada dalam kehidupan Mia dahulu. Seorang pemuda perantau dari Makassar yang ayah-ibunya telah tak ada. Raka yang mandiri dengan menggantungkan hidupnya pada koran-koran dari toko majalah Bang Agung. Raka yang pintar mengatur waktu. Pagi untuk sekolah, sore untuk bekerja, dan malam untuk belajar. Raka yang mencinta Mia dengan apa adanya. Raka yang miskin. Dan karena kemiskinan itu pula cintanya harus lepas dari Mia.
            Kini Mia datang di saat tidak tepat. Karena Raka tak mungkin kembali. Raka sudah tidak bisa menjemput Mia di rumah mewahnya dengan sepeda ontel milik Bang Agung. Meski beberapa kali ia dikejar satpam karena dituduh penyusup oleh orang tua Mia. Tak ada lagi Raka yang romantis dengan segala kekurangannya. Raka yang mengirim surat cinta jika ia rindu karena sampai SMA pun ia tak pernah punya handphone. Dan jiwa semangat Raka saat memanjat pohon kelapa ketika Mia sangat ingin minum es kelapa muda. Apa pun itu telah berlalu karena jiwa Raka telah menderita.
            Tak ada gunanya Mia menangis karena Raka tak akan mampu mengusap air matanya lagi. Saat Mia harus ditampar ayahnya karena Mia mencintai Raka. Raka menjadi satu-satunya penawar sedih baginya. Atau saat Raka pertama kalinya menangis dalam telepon saat ia menelpon Mia dengan handphone Bang Agung karena rindu yang menggebu tetapi saat itu pula Mia mengatakan ia akan pergi. Sosok Raka yang tangguh telah sirna karena kepergian sang kekasih. Kini jiwa Raka hanya bisa dirindukan meski raganya masih bisa dilihat. Kini kehangatan Raka hanya bisa dikenang meski tubuhnya masih bisa disentuh. Kini Raka menyendiri.
            Mia memandang sosok kekasinya itu. Memandang paras Raka yang dulunya tampan namun sekarang ketampanannya ditutupi oleh jiwa yang hancur. Kini Raka hanya bisa memandangnya dengan tatapan kosong. Tak seperti dulu, memandangnya dengan mata yang penuh cinta dan ketulusan. Ia mengusap kening kekasihnya dengan luka jahitan di jidatnya karena pengorbanan Raka menyelamatkannya dari reruntuhan sebuah bangunan saat itu. Saat itu Raka hanya tersenyum karena luka di jidatnya, walau perih ia bahagia karena Mia selamat. Kini hanya serpihan luka dan cinta yang menemani hari-hari Raka.
            Mia kembali mengingat daun-daun cinta yang diberikan Raka untuknya. Daun-daun kering yang Raka buat menjadi sebuah pesan di dalamnya tertulis nama mereka berdua dan sebuah kata cinta agar Mia selalu mencintanya. Daun-daun cinta yang sangat berarti baginya meskipun menurut orang lain tak bernilai. Itulah yang dapat diberikan Raka untuknya. Sebuah hadiah biasa namun berisi perasaan yang luar biasa.
            Mia terus-menerus menangis di dekat lelaki itu. Namun, ia tetap saja tidak mengerti. Bukan Raka yang dulu, lelaki yang tak pernah rela Mia menangis dan tersakiti. Lelaki yang menahan pahit demi sang kekasih. Berjuang mempertahankan cinta meski beberapa kali ia dipukul oleh suruhan orang tua Mia. Seluka apa pun wajahnya atau sederas apapun darahnya yang mengalir, Mia adalah pengobat baginya. Karena Raka mencintai dengan tulus dan segenap hati.
            Mia pergi. Mia meninggalkan Raka. Mia belum sempat merayakan ulang tahun Raka yang mereka rencanakan akan makan malam di pinggiran jalan. Di ulang tahunnya, Raka hanya ditemani tumpukan-tumpukan koran yang bisu. Koran yang tak akan mengerti betapa Raka merindu dan menginginkan kehadiran Mia. Tetapi Raka tahu Mia selalu selalu mencinta dan merinduinya. Mia pergi bukan karena inginnya tetapi karena ego orang tuanya. Raka tahu Mia telah mengirimkan pesan cinta lewat merpati yang tiap hari berterbangan di depan mata Raka.
            Raka terus-menerus menanti. Ia terus-menerus menanti di gerbang perumahan mewah di mana Mia tinggal dulu. Ia menunggu hingga larut hingga terpaksa pulang karena diusir. Saat itu pula Raka menemukan daun-daun cinta yang ia berikan dulu untuk Mia. Daun-daun cinta itu kini telah tertiup angin, dibasahi air, dan rusak karena injakan kaki-kaki manusia. Tapi, Raka tetap berharap Mia akan hadir membawa seyuman manis untuknya tak peduli daun cinta itu telah terabai olehnya. Raka berharap akan mengantarkan Mia kemana pun ia mau dengan sepeda ontel itu. Ia tak peduli sebesar apa pun keringat dan tenaga terkuras demi kebahagian Mia. Begitulah cara Raka mencinta. Namun, kini Raka hanya bisa duduk menyendiri dengan koin-koin ratusan rupiah yang dilemparkan orang untuknya.
            Mia menggenggam tangan lelaki itu. Tangan yang dulu berkorban untuknya. Ia memandang paras lugu lelaki itu. Dan menangis di atas jari-jari lelaki itu. “Aku mencintaimu raka, tetap mencintaimu...” kata itulah yang terlontar dari bibirnya. Mia tak peduli lelaki itu mengerti atau tidak tetapi ia tahu Raka kekasihnya mengerti.
            Di tengah haru birunya, ia mendengar suara Ardi memanggil dan mencarinya. Segera ia mengusap air matanya meski hatinya terus menangis. Kini ada Ardi yang ada di sisinya, seorang lelaki mapan yang juga mencintainya. Seorang lelaki yang akan mempersunting dan akan menjadi imamnya. Salam perpisahan dilakukannya dengan mencium kening Raka yang dicintainya. Kini Ardi menjemputnya juga dengan cinta, bagaimana pun juga ia adalah milik Ardi. Hatinya terpaksa membiarkan Raka dengan daun-daun cintanya...

Selasa, 1 November 2011
Meilis
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar