Cerpen - Garis Biru


 S
uasana Alas malam itu sangat sepi. Tak ada lagi suara klakson kendaraan yang kerap menggema di telinga-telinga. Kini, hanya rembulan dan kekasihnya bintang yang masih tersenyum manis menemani bangunku  malam itu. Tidurku tak nyenyak, segenap kekacauan bertabrakan dalam hampa otakku. Tubuhku dingin dan otakku serasa sebesar dunia. Alang-alang hunian kami bagai ombak. Hambar. Sesekali aku memandang wanita yang berbalut selimut lusuh di sampingku. Sebagai lelaki, aku merasa bersalah kepadanya.
            Dua tahun sudah aku merangkulnya dalam ikatan cinta dan menjadi teman hidupku. Tetapi, janjiku untuk senantiasa memberi canda dalam hidupnya belum dan tak tahu juga kapan akan kutepati. Karena ini keberapa kalinya air mata dan sakit kupatri dalam hatinya. Aku merasa lalai dalam ijab kabul yang kuucap. Maafkan aku dinda.
            Mereka, orang-orang yang mungkin tak mengerti akan cinta dan takdir. Tuhanlah yang menjadikan wanita sederhana ini sebagai istriku. Seorang gadis pribumi yang pekerjaan sehari-harinya hanya mengurus rumah tangga. Memang, tidak seperti istri saudara-saudaraku. Gadis-gadis keturunan Tionghoa yang diharapkan keluargaku. Hingga mereka membuat batasan antara aku dan cintaku, antara cintaku dan diri mereka. Bahkan tak mengerti bahwa cinta tak pernah punya batasan. Mereka menganggap ada garis yang memisahkan antara cintaku dengan segalanya tentang mereka, ada garis biru.
Setidaknya, aku ingin mereka mengerti bahwa wanita inilah yang membuatku sadar akan hidup. Menghentikan kebiasaanku, berjudi dan menghambur-hamburkan harta. Bahkan mereka, saudara-saudaraku saat ini tak mampu menyadarkanku.   
“Akan kulaporkan Abang ke kantor polisi!”, ancam Minah. Perkataannya tak kupedulikan. Ternyata, ia wanita yang sangat nekat. Ketika aku hendak mengeluarkan uang untuk taruhan dengan teman sepermainanku, seorang wanita datang dan dengan segenap tenaga mendorong meja permainan kami. “Tam!” Meja itu jatuh, kartu remi kami berhamburan, dan ada seorang wanita muda di baliknya. Ia adalah istriku. Semenjak kejadian itu, aku sadar bahwa aku uang warisan kakekku telah kubuang percuma sedangkan istriku gelisah mengkhawatirkan masa depan rumah tangga kami.
Hei, ternyata tidak mudah menghentikan kebiasan yang telah kulakukan sejak muda. Ada saja setan yang menghasutku untuk pergi ke markas kami. Terlebih lagi, cibiran dari teman-temanku yang mengatakan aku tak punya uang membuatku ingin berjudi lagi. Aku pun ingin mengulanginya lagi.
“Mau kemana, Ko?” tanya istriku.
“Aku mau jemput penumpang dulu.” Jawabku.
            “Ah, mau jemput penumpang malam-malam begini? Bohong, bilang saja mau ke markas!” katanya dengan geram.
“Kamu ini menuduhku sembarangan. Aku memang mau menjemput penumpang.” Kembali aku mengelak.
Tidak kuduga ia menutup dan mengunci pintu rumah kami. Angan-anganku bersenang-senang dengan teman-teman pun sirna. Sebenarnya aku marah, tetapi kulihat air matanya berlinang. Mungkin karena sikapku yang tak mau berubah di tengah kondisi ekonomi kami yang menipis. Aku mencoba berubah.
***
            Capgomeh, acara rutin keluargaku sudah dekat. Acara yang penuh keceriaan bagi keluargaku, mungkin akan menjadi duka bagi aku dan istriku. Enggan rasanya mengajak istriku ke acara itu karena seperti biasa tak ada seorang pun yang menegurnya kecuali para pembantu acara.
“Aku malu, Ko. Aku akan menjadi patung di acara itu. Memang aku orang kampung, tapi aku punya harga diri.” katanya padaku.
“Aku juga, siapa juga yang tega membiarkanmu terkucilkan. Kalau tak ada bapak dan ibu, enggan aku mengajakmu. Tapi aku mohon, pergi denganku karena mereka.”
“Iya. Lalu kapan mereka akan menerimaku sebagai bagian dari mereka? Kapan mereka mengganggapku sebagai adik, kakak, bibi, atau menantu mereka?” katanya.
“Maafkankan aku. Maafkan mereka…” jawabku dengan nada bersalah.
Ia menangis dan pergi meninggalkanku.
            Pernak-pernik serba merah menghiasi rumah orang tuaku. Kami berdua memasuki rumah itu. Akan ada acara makan sepertinya. Buah-buahan, minuman, dan makanan yang lezat telah tersaji di meja. Keluarga besarku mulai mencicipi makanan. Kulihat istriku merasa rendah dan terdiam di bangku paling pojok. Kugenggam tangannya dengan niat mengajaknya untuk beranjak ke meja makanan. Namun ia menolak dan menunjukkan wajah sedih. Aku mengerti perasaannya, karena telah sejam lebih ia hadir dalam acara itu hanya pegawai-pegawai toko saudaraku yang menyapanya. Sedang mereka, saudara-saudaraku hanya sibuk dengan anak-istri dan kerabat yang mereka tinggikan. Hingga pesta usai, ia hanya terdiam termangu.
***
            Di tengah perjalanan rumah tangga kami yang sedang terjal. Tuhan mengirimkan kami bayi perempuan mungil yang lahir dari rahim istriku. Segala kepenatan  yang dulu bertumpuk dalam benak kami terobati karena kehadirannya. Ia memberiku nyawa untuk terus berjuang. Aku tak peduli segala aksi dan reaksi keluarga besarku akan kelahirannya. Dalam benakku hanya ada pikiran untuk membahagiakan keluarga kecilku. Entah sesulit dan sekeras apa pun caranya.
            “Aku harap dia bisa menjadi cahaya di tengah gelap hidup kita.” harap istriku.
            Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Dalam hati, aku berdoa agar Tuhan senantiasa mendengar suara hati kami. Aku sekarang menjadi ayah, aku punya panggilan baru. Yah, aku akan jadi ayah yang baik untuknya. Akan memberinya segala cinta yang kupunya.
            Aku semakin bergairah bekerja. Tak kenal lelah, untuk dia anakku, untuk dia istriku. Bus-bus yang telah lama menjadi tumpuan keluarga kami diserahkan sepenuhnya padaku. Aku belajar mengolah penghasilan bus-bus itu. Saat itu menjadi masa kejayaanku. Keadaan ekonomi kami membaik bahkan sudah tak kekurangan lagi.
            Uang yang kupunya tak hanya untuk menghidupi keluarga kecilku tiap harinya, tetapi juga untuk memberi modal dagangan saudaraku, menguliahkan adikku dan menghidupkan saudara-saudara istiku yang ikut tinggal dengan kami. Perlahan, saudara-saudaraku sadar bahwa perbaikan hidupku bukan karena aku seorang, tetapi sosok istri yang berusaha membuatku berubah. Hubungan keluarga kami pun menjadi lebih hangat.
            Pudar, pudar, dan pudar. Bukan ketulusan, bukan kasih sayang, dan bukan pula cinta yang pudar. Tetapi, garis biru itu. Yang selama ini membatasi cintaku dan orang-orang terdekatku. Ia telah pudar terhapus kekuatan hati kami serta perjuangan cinta dan hidup yang selama ini kami lakukan berakhir indah. Karena ia tak terlihat lagi sebagai penghalang. Dan kini, tak ada yang memisahkan kami. Aku, cintaku, dan orang-orang terdekatku, satu…
***
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar